Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
KARYA ILMIAH
REKONSTRUKSI UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Disusun Untuk Disajikan pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Program Sarjana Tingkat Universitas
Oleh :
Ervina Oktavia Kilis
(10312008)
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
Mei 2013
LEMBAR PENGESAHAN
PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI PROGRAM SARJANA
TINGKAT UNIVERSITAS
I. Judul Kegiatan : REKONSTRUKSI UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI
INDONESIA DENGAN STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
II. Nama Penulis : ERVINA OKTAVIA KILIS (10312008)
III. Tanggal Pengesahan : TONDANO, 06 MEI 2013
TONDANO, 06 MEI 2013
Mengetahui,
Pembantu Dekan III FBS
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
|
Dosen Pembimbing
Dra. Nurmin Samola, M.Hum
NIP. 19600909 198603 2002
|
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, kuasa dan perkenanan-Nya yang telah dinyatakan selama ini sehingga penulisan karya ilmiah yang berjudul “Rekonstruksi Upaya Penanggulangan Kemiskinan Dengan Strategi Pemberdayaan Masyarakat” boleh rampung dengan segala baik.
Kemiskinan merupakan hal yang tak asing lagi di telinga umat manusia. Kemiskinan dewasa ini, sudah merupakan permasalahan global yang tak terhindarkan khususnya di Negara Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menanggulangi masalah yang tak kunjung usai itu. Namun, suatu permasalahan tak akan teratasi jika tidak di pangkas sampai pada akar-akarnya. Karya ilmiah ini akan memaparkan paradigma lama dan baru upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia guna memberikan gagasan-gagasan kreatif tentang strategi yang efektif dalam menghadapi masalah tersebut.
Akhirnya, “Tiada Gading Yang Tak Retak”. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan karya ilmiah ini. Penulis pun berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Tondano, 01 Mei 2013
Penulis
Ervina Oktavia Kilis
10312008
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ……..……………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………iii
RINGKASAN ……………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….1
A. Latar Belakang ………. ………………………………………….…1
B. Rumusan Masalah ………. …………………………………………4
C. Gagasan Penulis ………….……………………………………….4
D. Tujuan dan Manfaat ………..…………………………………….. 4
BAB II KAJIAN TEORI ………………………………………….……6
A. Kemiskinan ………..………………………………………………..6
B. Pemberdayaan …….……………………………………………… 10
BAB III METODE PENULISAN ..…………………………………..14
BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS …………………………………15
A. Analisis …………..………………………………………………15
B. Sintesis ………,,,…………………………………………………16
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………...20
A. Kesimpulan ………..………………………………………………20
B. Rekomendasi ……..………………………………………………20
DAFTAR PUSTAKA ……..……………………………………………..22
RINGKASAN
Dewasa ini, kemiskinan telah menjadi persoalan global yang kompleks dan tak kunjung usai. Sebuah fenomena yang sangat krusial yang menentukan pergerakan sebuah negara menuju derajat keberhasilan pembangunan ke arah yang lebih maju. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat angka kemiskinan meningkat. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, malahan menciptakan orang miskin baru setiap tahunnya.
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan. Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik, tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak yang menyertainya yaitu telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Kekayaan alam yang sangat berpotensi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik karena kualitas SDM yang sangat memprihatinkan. Masih banyak kita dapati para pengemis dan gelandangan berkeliaran tidak hanya di pedesaan bahkan di kota-kota besar yang sudah menjadi tontonan setiap hari. Belum lagi anak-anak bangsa yang putus sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang mahal. Kini di Indonesia jerat kemiskinan semakin parah. Kemiskinan bukan semata –mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Melihat realita kemiskinan yang ada, pemerintah pun giat melaksanakan berbagai macam program sebagai strategi penanggulangan kemiskinan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata program pengetasan kemiskinan oleh pemerintah belum berjalan seperti apa yang diharapkan. Masih terdapat banyak sekali penyimpangan-penyimpangan dalam program pemerintah, lebih lagi program tersebut bersifat tidak merata dan hanya untuk penanggulangan jangka pendek yang pada akhirnya akan menjadikan masyarakat bergantung pada bantuan material dari pemerintah dan akan lebih miskin lagi dari sebelumnya.
Kemiskinan di Indonesia masih menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan dari tahun ke tahun. Seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan. Pemerintah seperti memangkas rumput namun tidak sampai pada akarnya. Sebenarnya persoalan kemiskinan berakar pada kualitas sumber daya manusia. Namun sayangnya perhatian pemerintah pada penanggulangan kemiskinan hanya berporos pada pendekatan pertolongan (charity) yang bersifat jangka pendek.
Di tengah upaya untuk semakin menajamkan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia, perlu dicari metode evaluasi dan monitoring yang tepat agar kualitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan menjadi semakin baik dan tepat sasaran. Dengan indikator-indikator yang objektif dan terukur maka akan lebih mudah melakukan perbaikan dari berbagai segi agar program menjadi lebih berkelanjutan dan tidak bersifat kedermawanan (charity). Sebuah konsep yang berpusat pada pemberdayaan manusia merupakan strategi yang paling efektif dalam menanggulangi kemiskinan karena kemiskinan tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan yang mengingkari realitas yang menjadi sumber penyebab kemiskinan yaitu manusia itu sendiri. Pendekatan yang instrumental yakni mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin ternyata hanya mampu menyelesaikan masalah untuk jangka pendek dan justru memberi peluang untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. Pada akhirnya program penanggulangan kemiskinan justru menghasilkan penguatan masalah kemiskinan.
Dengan demikian, perlu dilakukan rekonstruksi paradigma penanggulangan kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia yaitu dari konsep pertolongan (charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia karena persoalan kualitas Sumber Daya Manusia merupakan hal fundamental yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan, masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan namun sebaliknya masyarakatlah yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan negara ini.
Untuk itu, Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program penanggulangan kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan maupun penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Pemerintah seharusnya berpusat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Masyarakat yang merupakan kekuatan dari suatu negara, hendaknya saling gotong-royong dan bekerjasama dengan pemerintah dalam proses penanggulangan kemiskinan dan harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mampu memberikan gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang pembangunan sehingga negara ini mampu keluar dari kubangan kemiskinan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kemiskinan merupakan suatu fenomena sosial terbesar yang dialami oleh setiap negara di berbagai belahan dunia, baik negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah mempunyai kemapanan di bidang ekonomi. Tragedi kemanusiaan ini pada dasarnya bukan hanya menjadi masalah lokal, regional dan nasional tetapi telah menjadi perhatian, isu dan gerakan global. Hal ini dapat dicermati dari : (1) pertemuan World Summit for Social Development Copenhagen 1995 pada tanggal 6-12 maret 1995; (2) pertemuan pada Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan (World Food Summit) di Roma pada tanggal 12 Juni 2002; (3) KTT Milenium PBB 2001; (4) Konferensi KTT mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 2-3 September 2002; (5) Seminar Nasional tentang Tantangan Penanggulangan Kemiskinan Dalam Era Otonomi Daerah ; (6) Seminar Internasional tentang Penanggulangan Kemiskinan di Hanoi, Vietnam tanggal 10-11 Juni 2004; (7) Konferensi 55 negara di PBB tentang Tindakan Memerangi Kelaparan dan Kemiskinan, pada tanggal 20 September 2004, dan berbagai pertemulan berskala nasional dan internasional lainnya.
Indonesia yang masuk dalam golongan negara yang sedang berkembang juga tak asing dengan fenomena kemiskinan yang melanda seluruh negara di berbagai belahan dunia. Kemiskinan sesungguhnya bukanlah persoalan baru di negeri ini. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 % (BPS 2012). Walaupun mengalami penurunan setiap tahunnya namun angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara eksplisit sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, para founding fathers kita secara tegas telah menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari pembangunan nasional adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia dan tujuan ini hanya akan terwujud jika tak ada lagi penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Namun apakah hal ini bisa terwujud, sedangkan negara superpower sekalipun belum bisa terhindar dari fenomena global ini.
Untuk memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, hal pertama yang harus dilakukan yaitu mendefinisikan kemiskinan tersebut secara mendalam dan mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik (data) kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti siapa si miskin (profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty)—baik secara absolut maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk suatu wilayah. Informasi seperti ini sangat penting bagi pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan yang harus diambil dan program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si miskin dari kubangan kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi keberhasilan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Pada dasarnya pemerintah telah berusaha keras untuk menekan angka kemiskinan setiap tahunnya dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan, namun dengan melihat realita kehidupan Bangsa Indonesia saat ini sepertinya program dari pemerintah yang lebih menitikberatkan konsep pertolongan (kedermawanan) masih belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Program pemerintah seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dalam pelaksanaannya ternyata masih belum efektif karena banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Permasalahan kemiskinan pada dasarnya berakar dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memiliki kemampuan apa-apa karena tingkat pendidikan yang rendah.
Dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pemberdayaan. Konsep pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya. Menurut Mujiyadi B. dan Gunawan (2000) :
Pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat miskin merupakan sumber daya manusia yang berpotensi untuk berpikir dan bertindak yang pada saat ini memerlukan “penguatan” agar mampu memanfaatkan daya (power) yang dimiliki.
Jadi, dengan indikator-indikator yang obyektif dan terukur, maka akan lebih mudah melakukan perbaikan-perbaikan dari berbagai segi agar program penanggulangan kemiskinan menjadi lebih berkelanjutan (sustainable) dan tidak bersifat kedermawanan (charity).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :
Strategi apa yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia dengan melihat realita kemiskinan yang ada ?
C. Gagasan Penulis
Realita kemiskinan di negara ini merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional serta bukan hal yang mudah untuk dituntaskan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu. Beberapa pakar ekonomi berasumsi bahwa program penanggulangan kemiskinan yang sudah dan sementara dilaksanakan belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di negeri ini. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, salah satunya yaitu upaya pengetasan kemiskinan lebih terfokus pada penyaluran bantuan sosial (orientasi kedermawanan) untuk orang miskin, bukan kepada pemberdayaan Sumber Daya Manusia, sehingga memperburuk moral serta menimbulkan perilaku ketergantungan dan korupsi dalam penyalurannya. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya upaya penanggulangan kemiskinan yang sementara dilakukan oleh pemerintah masih belum efektif dalam pelaksanaannya. Untuk itu, program pemberdayaan SDM merupakan konsep paling efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena dengan program ini maka masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan. Dalam hal ini pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutarbalikkan proses pemiskinan.
D. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk memberikan penjelasan komperhensif tentang strategi pemberdayaan yang merupakan konsep kunci dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia saat ini. Berdasarkan tujuan penulisan karya tulis ini, maka manfaat yang diharapkan yaitu tulisan ini mampu memberikan paradigma baru bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia lewat konsep pemberdayaan manusia yang nantinya akan berpengaruh pada proses pembangunan negara ini.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan sebuah kata yang memiliki beragam definisi mulai dari sekedar ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan sampai pada pengertian lebih luas yang mencakup komponen-komponen social dan moral. Definisi kemiskinan mengalami perkembangan sesuai dengan penyebabnya yaitu pada awal 1990-an, definisi kemiskinan diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tetapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Belakangan ini, pengertian kemiskinan telah mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (Smeru, 2001). Pengertian tersebut berkaitan dengan konsep Chambers (1983) tentang jebakan kemiskinan (deprivation trap), antara lain: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Definisi orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah tidak cukup karena: (1) pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) pengertian tersebut dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah, bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai, dan (3) pengertian tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan lintas sektoral dan bisa kontra produktif (Smeru, 2001).
Secara etimologis “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan. Departemen Sosial dan Biro Pusat Statistik, mendefinisikan sebagai ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos,2002). Dalam konteks politik, John Friedman dalam Prijono (1996) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Frank Ellis (dalam suharto,2005) menyatakan bahwa kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Orang disebut miskin jika dalam kadar tertentu sumber daya ekonomi yang mereka miliki di bawah target atau patokan yang telah ditentukan. Yang dimaksud dengan kemiskinan sosial adalah kurangnya jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung orang untuk mendapatkan kesempatan - kesempatan agar produktivitasnya meningkat. Dapat juga dikatakan bahwa kemiskinan sosial adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan kesempatan – kesempatan yang tersedia. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Dalam Suharto (2005) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya.
Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun singkat, defenisi ini menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan multidimensi, serta tidak mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat itu? Setiap orang tentu akan menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapat dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia (2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.” Jika diterjemahkan secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank Dunia sebagai kondisi serba kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak mampu mencapai derajat hidup layak (well-being). Meskipun defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan kerumitan dalam pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak atau sejahtera (well-being) adalah repsentasi dari banyak hal: seberapa besar penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa dan seberapa banyak yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang dikenakan sehari-hari, di mana seseorang bertempat tinggal, apakah bersekolah—jika termasuk penduduk usia sekolah, apakah pergi ke dokter kala sakit, dan masih banyak lagi. Bank dunia (2000) menyebutkan,
Well-being comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises when people lack they capabilities, and so have inadequate income or education, or poor health, or insecurity, or low self-confidence, or a sense of powerlessness, or the absence of rights such as freedom of speech.
Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Ada tiga jenis kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan relatif.
Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
2. Kemiskinan kultural.
Miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
3. Kemiskinan absolut.
Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan minimum atau dibawah garis kemiskinan internasional. Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut merupakan :
Kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengukur kemiskinan? Bagaimana menentukan sebuah indikator hidup layak yang mudah untuk diukur di satu sisi, serta cukup memuaskan dalam menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi yang lain?
Para ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator hidup layak. Pilihan menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator hidup layak tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya pada dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan atau pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari kemiskinan yang hendak diukur. Kedua indikator ini cukup baik (useful) sebagai indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau individu yang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal menikmati lebih banyak barang dan jasa dengan variasi yang juga lebih beragam dibandingkan rumah tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang lebih rendah, yang memiliki keterbatasan dalam mengakses barang dan jasa. Dan yang lebih penting lagi, pendapatan atau pengeluaran lebih mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara maju (rich countries). Ini disebabkan di negara maju pendapatan lebih mudah diukur ketimbang pengeluaran karena sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan pengeluaran sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang (developed countries) termasuk Indonesia dan negara-negara miskin (less-developed countries). Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk di negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal dan self-employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar ini berupa keranjang komoditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs) yang dinyatakan dalam suatu nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya, standar minimum ini ditentukan dengan menggunakan suatu metode statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”. Standar minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu. Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk miskin (poor) dan nir-miskin (non-poor).
B. Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment”, yang mempunyai makna dasar ‘pemberdayaan’, di mana ‘daya’ bermakna kekuatan (power). Papilaya (2004) menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat miskin. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil, yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh.
Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja, tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif.
Konsep lain menyatakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah (Prijono dan Pranarka, 1996).
Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Sedangkan dalam kajian ini pengertian “pemberdayaan” dimaknai sebagai segala usaha untuk membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemiskinan yang menghasilkan suatu situasi di mana kesempatan-kesempatan ekonomis tertutup bagi mereka, karena kemiskinan yang terjadi tidak bersifat alamiah semata, melainkan hasil berbagai macam faktor yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan, maka upaya pemberdayaan juga harus melibatkan kedua faktor tersebut.
Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development). Community development adalah suatu proses yang menyangkut usaha masyarakat dengan pihak lain (di luar sistem sosialnya) untuk menjadikan sistem masyarakat sebagai suatu pola dan tatanan kehidupan yang lebih baik, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian dan kepedulian masyarakat dalam memahami dan mengatasi masalah dalam kehidupannya, mengembangkan fasilitas dan teknologi sebagai langkah meningkatkan daya inisiatif, pelayanan masyarakat dan sebagainya. Secara filosofis, community development mengandung makna ‘membantu masyarakat agar bisa menolong diri sendiri’, yang berarti bahwa substansi utama dalam aktivitas pembangunan masyarakat adalah masyarakat itu sendiri.
Sunyoto Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persoalan politik dan ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar negara menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik yang dihadapi oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan tersebut akan berkembang menjadi masalah internasional.
Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Menurut Maria Fraskho (Papilaya, 2004), konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat. Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3). Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Menurut John Friedman (Prijono, 1996), Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh individu. Dalam keadaan tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek kehidupannya. Menurut Prijono (1996), konsep ini merupakan bentuk penghargaan terhadap manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian.
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode pengamatan fenomena dan referensial study. Hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi digunakan sebagai dasar pemikiran dalam pembahasan suatu masalah serta mencari masalah mana yang paling penting saat ini dan layak untuk diangkat. Pengamatan ditujukan pada realita penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah yang dipandang belum efektif dalam pelaksanaannya karena cenderung menitikberatkan kepada konsep pertolongan (kedermawanan) yang menimbulkan ketergantungan kepada masyarakat bahkan memperbanyak angka korupsi di negara ini. Untuk itu, perlu diperkenalkan paradigma pemberdayaan manusia sebagai konsep yang lebih efektif dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian strategi pemberdayaan manusia dapat menjadi gebrakan yang sangat penting dalam mengurangi angka kemiskinan bahkan pula dalam menunjang program pembangunan. Metode referensial study digunakan untuk memaparkan referensi teoritis dalam kajian pustaka melalui analisis deduktif dari teori dan pendapat para ahli yang diperoleh dari buku maupun tulisan-tulisan dari media elektronik (internet) yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
Metode analisis yang digunakan dalam karya tulis ini adalah deskriptif analisis yaitu menganalisis permasalahan yang ada dari hasil pengamatan atau identifikasi dan studi kepustakaan tentang permasalahan serta hubungan antara masalah tersebut yang didasarkan pada suatu teori atau konsep keilmuan yang relevan. Kegiatan analisis dalam karya tulis ini meliputi pengolahan data, melakukan sintesis, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari selanjutnya memutuskan apa yang akan dilakukan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penulis menarik kesimpulan yang konsisten dengan analisis dan sintesis permasalahan serta memberikan rekomendasi berupa kemungkinan atau prediksi transfer gagasan.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
a. Analisis
Menurut Chambers (1983) kemiskinan bersifat multi dimensional, yaitu terkait dengan masalah:
1. Kesejahteraan, yaitu: terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan;
2. Akses terhadap sumberdaya, yaitu: adanya peluang untuk memanfaatkan sarana untuk menggunakan fasilitas dan berproduksi, seperti: menggunakan teknologi, informasi, kredit modal, pelayanan kesehatan, sumber daya alam, listrik, telekomunikasi;
3. Kesadaran kritis, yaitu: kesadaran rakyat akan hak dan dapat memperjuangkan hak, seperti: mampu menentukan pilihan, berani berpikir bebas, berani mempertanyakan segala nilai, norma, tatanan yang ada, baik dari adat istiadat, agama, negara dan berani bertindak mengubahnya agar menjadi lebih adil;
4. Partisipasi, yaitu peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam pengambilan keputusan dan menjadikannya lebih aktif bukan sebagai anggota yang pasif, dan
5. Posisi tawar, yaitu: Kemampuan rakyat untuk menentukan nasib dan kepentingan sendiri, pemanfaatan sumberdaya dan punya kekuatan untuk menuntut hak.
Selaras dengan pendapat tersebut, Prijono dan Prainaka (1996) merangkum beberapa dimensi kemiskinan yang terkait dengan bidang:
1. Politik, yaitu tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka;
2. Sosial, yaitu tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada
3. Ekonomi, yaitu rendahnya kualitas SDM, termasuk kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang berdampak pada penghasilan;
4. Budaya, yaitu terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM, seperti: rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme, dan
5. Lingkungan hidup, yaitu rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan hidup, seperti: air bersih dan penerangan
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Program-program pembangunan yang dilaksanakan juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah menghasilkan istilah “gali lubang,tutup lubang”. Artinya program yang diupayakan pemerintah belum efektif dalam pelaksanaannya. (Papilaya:2004).
Program yang dilakukan dalam rangka penanggulangan kemiskinan seperti cerita tentang petani yang memotong rumput di ladang tanpa mencabut sampai ke akar-akarnya. Paradigma lama penanggulangan kemiskinan tersebut menggunakkan pendekatan ekonomi yang bersifat kedermawanan (charity). Kemiskinan tidak dapat dapat ditanggulangi dengan pendekatan atau strategi yang menolak serta mengingkari realitas yang menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri yang tentunya berasal dari Sumber Daya Manusia. Strategi yang instrumental yakni mencoba mengurangi ciri-ciri kemiskinan yang ada pada komunitas miskin tertnyata hanya mampu menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan justru memberi peluang untuk kembali terjebak dalam kemiskinan yang lebih dalam. (Chambers:1983).
b. Sintesis
Berdasarkan realita penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang masih berporos pada paradigma lama penanggulangan kemiskinan yaitu dengan konsep pertolongan (kedermawanan) yang pada kenyataannya hanya memberikan solusi jangka pendek, maka sudah seharusnya negara ini beranjak kepada paradigma baru yang lebih berpusat pada manusia melalui konsep pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
Penerapan strategi pemberdayaan merupakan kunci utama dalam upaya penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia. Upaya penanggulangan kemiskinan melalui konsep pemberdayaan secara konseptual dapat dilakukan melalui 3 jalur strategis, yaitu :
1. Peningkatan kualitas masyarakat melalui pendidikan. Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Konsep pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dan bertidak setiap individu. Saat ini, Indonesia sementara menerapkan konsep pendidikan yang bersifat disentralistik, artinya, masyarakat diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang ada di masing-masing daerah. Konsep pendidikan ini tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masing-masing daerah, karena masih diterapkannya sistim ujian nasional. Masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada karena pada ujung-ujungnya sistem pendidikan mengarah ke konsep sentralistik. Masyarakat terlalu dikekang dengan sistem yang ada sehingga sifat ketergantungan kepada pemerintah akan selalu ada. Untuk itu, penerapan sistem pendidikan yang disentralistik sangat diperlukan untuk meningkatkan sumber daya manusia tanpa adanya intervensi dari pemerintah yang mengekang masyarakat untuk maju dan berkembang.
2. Peningkatan kapabilitas masyarakat, peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah peningkatan keterampilan usaha, permodalan, pra-sarana, teknologi serta informasi pasar. Misalnya, memberikan pelatihan-pelatihan dalam manajemen usaha mandiri dan bagaimana memanfaatkan teknologi dan informasi kepada masyarakat.
3. Peningkatan kapasitas Masyarakat, dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Misalnya, membentuk organisasi-organisasi sosial yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi.
Masalah kemiskinan merupakan masalah yang belum sepenuhnya teratasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan warga masyarakat miskin Indonesia semakin hari semakin bertambah. Konsep pemberdayaan merupakan solusi tepat untuk persoalan kemiskinan, karena :
1. Demokrasi Proses Pembangunan. Konsep pemberdayaan Masyarakat dipercaya mampu untuk menjawab tantangan pelibatan aktif setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan tahap evaluasinya.
2. Penguatan Peran Organisasi Kemasyarakatan Lokal. Konsep pemberdayaan Masyarakat dipercaya mampu untuk menjawab tantangan bagaimana untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan lokal berfungsi dalam pembangunan. Organisasi masyarakat lokal merupakan pemegang peran sentral terjadinya perubahan sosial karena merekalah yang paling mengerti karakter lapisan masyarakat paling bawah.
3. Penguatan Modal Sosial. Konsep pemberdayaan dipercaya mampu untuk menggali dan mempekokoh ikatan sosial di antara warga negara. penguatan modal sosial mengandung arti pelembagaan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebersamaan, dan kepedulian.
4. Penguatan Kapasitas birokrasi Lokal. Konsep pemberdayaan secara khusus diyakini mampu untuk meningkatkan fungsi pelayanan publik dan pemerintahan khususnya kepada penduduk setempat. Konsep pemberdayaan memaksa jajaran pemerintah lokal untuk perhatian lebih besar kepada rakyatnya agar rakyat dapat memperoleh dan memenuhi kebutuhan hidupnya baik fisik maupun non-fisik secara mudah.
5. Mempercepat Penanggulangan Kemiskinan. Konsep pemberdayaan dalam bentuknya yang paling menonjol diyakini dapat mempercepat tujuan penanggulangan kemiskinan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, karena dalam pendekatan pemberdayaan ini para penyelenggara pembangunan baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan dituntut untuk memberikan pemihakan dan perlindungan kepada rakyat miskin.
Bilamana hal tersebut diatas dapat diterapkan di Indonesia dalam hal penanggulangan kemiskinan, maka masalah kemiskinan negara ini akan menunjukkan angka penurunan yang signifikan setiap tahunnya namun penerapannya harus dilakukan secara terus menerus.
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
Untuk Download Karya ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
a. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan di Indonesia akan terus ada ketika akar permasalahannya tidak terjangkau dan tidak dituntaskan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi paradigma penanggulangan kemiskinan yang sementara diterapkan di Indonesia yaitu dari konsep pertolongan (charity) menjadi konsep pemberdayaan manusia karena persoalan kualitas Sumber Daya Manusia merupakan hal fundamental yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di Indonesia. Melalui konsep pemberdayaan, masyarakat tidak lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan namun sebaliknya masyarakatlah yang berperan aktif dalam pelaksanaan pembangunan negara ini.
b. Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan dalam karya tulis ini maka dapat beberapa hal yang dapat diajukan sebagai rekomendasi yaitu:
1. Bagi masyarakat
Masyarakat yang merupakan kekuatan dari suatu negara, hendaknya saling bekerjasama dan harus berperan aktif dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta mampu memberikan gagasan-gagasan kreatif yang dapat menunjang pembangunan sehingga negara ini mampu keluar dari kubangan kemiskinan. Masyarakat juga harus bisa mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah masih relevan dengan keadaan masyarakat saat ini
2. Bagi Pemerintah
Pemerintah perlu mengevaluasi dan mengontrol kembali program penanggulangan kemiskinan, apakah efektif atau masih terdapat kelemahan maupun penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Pemerintah seharusnya berpusat pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan serta memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bisa mengembangkan kemampuan yang dimiliki tanpa adanya intervensi dari pemerintah sehingga masyarakat tidak akan bergantung sepenuhnya kepada pemerintah.
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khairil. 2009. “Solusi Kemiskinan”. http://sahabatbaru.blogspot.com (diakses pada 12 April 2013)
Badan Pusat Statistik, 2012. Penduduk Miskin (PoorPopulation). http://www.bps.go.id (diakses pada 12 April 2013)
Bank dunia. 2000. “A Sourcebook for Poverty Reduction Strategies”. http://www.worldbank.org (diakses pada 01 Mei 2013)
Chambers, Robert. 1983. “Rural Development: Putting the Last First”. England: Longman Scientific.
Ginanjar, 1997. “Pembangunan Masyarakat Desa, Asas, Kebijaksanaan, dan Manajemen”. Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Mujiyadi. B dan Gunawan. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin”. Jakarta: Batilitbang Depsos.
Prijono, Pranaika. 1996. “Pengembangan Sumberdaya Manusia: Konsepsi Makro untuk Pelaksanaan di Indonesia”. Jakarta: Izufa Gempita.
Papilaya, Eddy. 2004. “Rekonstruksi upaya penanggulangan kemiskinan”, http://www.oocities.org (diakses pada 30 Maret 2013)
Sutrisno. 1999. “Dalam Perangkap Kemiskinan, Problem, dan Strategi Pengentasannya”. (ed, Bagong Suyanto), http://www.airlanggapress.com (diakses pada 01 Mei 2013)
Smeru. 2001. “Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional”. (Laporan Penelitian Lembaga Penelitian SMERU), http://www.smeru.co.id (diakses pada 01 Mei 2013)
Suharto, Edi. 2005. “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial”. Bandung: STKS.
United Nation. 1995. “World Summit for Social Development Copenhagen”, http://www.un.org. (diakses pada 01 April 2013)
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI
Untuk Download Karya Ilmiah ini, Silahkan KLIK DI SINI