SISI LAIN AIR TERJUN KALI
(Ekspedisi 4 Jurnalis Pemula Unima)
Hari kedua pelaksanaan pelatihan jurnalistik tingkat menengah yang di gelar SPS Universitas Negeri Manado (Unima) bersama AJI Manado hari sabtu 24 november 2012, para peserta pelatihan mendapat tugas untuk meliput berita di beberapa tempat di sekitaran kota Manado. Pada hari itu Rasa antusias yang begitu besar Sangat jelas terlihat di wajah para peserta mulai dari awal materi sampai waktu pembagian kelompok dan lokasi yang menjadi target pencarian berita. Akhirnya terbentuklah tiga kelompok jurnalis yang siap di lepas ke beberapa lokasi sebagai bentuk penerapan teori yang sudah diberikan oleh pemateri.
Ada tiga lokasi yang menjadi target pencarian berita yaitu air terjun tapahan telu kali, Mega Mall dan TO (Studio Twenty One). Setelah itu para peserta diberikan surat tugas oleh AJI untuk mempermudah pencarian berita. Kami pun berangkat ke lokasi yang menjadi target pencarian berita yaitu air terjun yang berlokasi di desa kali kecamata pineleng, kabupaten Minahasa. Setibanya di lokasi, kami diberikan sedikit pengarahan oleh AJI tentang bagaimana kami akan mendapatkan informasi terkait tema yang telah di berikan kepada kelompok kami.
Sebelum menuju ke tempat wisata tersebut, kami di sambut oleh seorang ibu yang bertugas untuk menjaga pintu masuk ke tempat yang akan kami tuju. Ibu tersebut menyapa kami dengan ramah dan menjelaskan bahwa apabila kami hendak masuk ke tempat wisata ini, kami di wajibkan untuk membeli tiket dengan harga Rp. 2.700/orang. “kalu mo maso musti beli tiket depe harga 2.700 rupiah per orang,” (kalau ingin masuk, harus bayar tiket seharga 2.700 rupiah per orang) katanya. Dengan spontan, ketua panitia Andreas Lalogiroth mengeluarkan uang sebesar 11.000 rupiah dari sakunya. Karena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, kami langsung meminta ibu tersebut untuk kami wawancarai seputar objek wisata yang akan kami kunjungi itu. Ibu tersebut langsung memanggil seorang lelaki yang merupakan pala (kepala lingkungan, red) jaga empat di desa kali selatan. Jantje Pungus merupakan pala jaga 4 di desa itu. Ia menceritakan kepada kami tentang situasi yang sementara terjadi di tempat itu yaitu pengunjung yang semakin berkurang karena akses ke lokasi yang semakin rusak dan tidak mendapatkan perhatian intens dari pemerintah propinsi . “s’karang depe pengunjung kurang sadiki soalnya jalan ke lokasi so rusak parah dan bisa-bisa membahayakan pengunjung, yah napa ley kwa rupa so nda ada perhatian dari pemerintah propinsi, jadi kurang desa yang kelolah. Jadi tu doi karcis ini desa yang kelolah noh” (sekarang pengunjung yang datang semakin berkurang karena jalan menuju lokasi yang sudah semakin rusak sehingga bisa membahayakan pengunjung, jadi uang karcis ini dikelolah oleh desa),” tuturnya.
Usai memperoleh informasi dari pak pungus, kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi. Dan ternyata apa yang disampaikan pala jaga empat kepada kami memang benar. Jalan yang kami lewati cukup sempit, berlumut dan rusak. Pada awalnya memang belum terlihat kerusakan yang signifikan namun lama kelamaan jalannya pun semakin rusak dan sudah hampir tidak layak lagi untuk di jalani karena sebelah kanan jalan ada jurang yang terjal, terpeleset sekali dijamin langsung menuju ke bawah tanpa perlu menggunakkan kaki.
Setelah menempuh jarak 800 m selama 30 menit berjalan kaki, akhirnya kami tiba di lokasi. Rasa lelah pun terbayar dengan keindahan tempat itu. “Sungguh inilah mahakarya sang pencipta yang sungguh luar biasa,” gumamku dalam hati. Kami pun mulai mendekati air terjun yang kami nanti-nantikan itu. Suasana sejuk dan sedikit menyeramkan sangat terasa. Percikan air mulai membasahi kami yang mulai mendekat. Mulailah sesi foto. Berbagai macam gaya pun bermunculan. Rasa bahagia terpancar jelas di wajah kami. Namun sayangnya ketua panitia yang merupakan salah satu dari kelompok kami tidak bisa bersama-sama dengan kami sampai ke lokasi karena kondisi jalan yang tidak memungkinkannya untuk ikut bersama kami.
Sesi foto pun selesai dan akhirnya kami beranjak dari lokasi dan menempuh perjalanan yang sama menantangnya seperti pada waktu kami datang. Di pintu keluar kami bertemu dengan seorang bapak. Bermaksud hanya untuk bertanya jarak dari desa ke lokasi, ternyata kami sementara bercerita dengan pemilik lahan dimana air terjun itu berada. Barsilius kaligis merupakan pemilik dari lahan tersebut. Berdasarkan penuturan pak kaligis, air terjun tersebut dijadikan objek wisata sejak tahun 1992 oleh dinas pariwisata propinsi Sulawesi Utara berdasarkan pembicaraan dengan pemilik lahan. Namun sangat disayangkan pembicaraan tersebut yang tujuannya saling menguntungkan ternyata di luar dugaan karena sampai saat ini dinas pariwisata tidak juga merealisasikan apa yang telah dibicarakan sebelumnya. “s’karang kita berusaha mo baku dapa deng dinas pariwisata for tanya kejelasan” (saat ini saya berusaha untuk bertemu dengan dinas pariwisata untuk menanyakan kejelasannya),” tambahnya. Ucapan terima kasih kami lontarkan kepada pak Kaligis untuk menutup pembicaraan sekaligus berterima kasih atas informasi yang telah kami dapatkan.
Akhirnya ekspedisi 2 jam dari empat jurnalis pemula yang terdiri dari Ervina O. Kilis, Lily Lendo, Andreas Lalogiroth dan Bartel Mangoal dari Unima selesai dengan suatu kebanggaan karena berhasil menaklukan perjalanan yang sangat menantang menuju air terjun kali. Kami pun kembali ke lokasi pelatihan untuk melanjutkan kegiatan. (Ervina Oktavia Kilis)